Peristiwa Cumbok

Peristiwa Cumbok Aceh: Konflik Internal di Tanah Rencong

Peristiwa Cumbok merupakan salah satu konflik internal paling berdarah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Aceh. Peristiwa ini terjadi pada akhir 1945 hingga awal 1946, tepatnya di Desa Cumbok, Kabupaten Aceh Barat Daya. Konflik ini mempertemukan dua kelompok utama, yaitu kaum ulama (yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA) dan kaum uleebalang (golongan bangsawan tradisional yang pro-Belanda).

Peristiwa ini bukan sekadar pertentangan kekuasaan lokal, tetapi mencerminkan pergeseran kekuasaan politik dan sosial di masa transisi menuju kemerdekaan Indonesia. Artikel ini akan membahas latar belakang, jalannya konflik, tokoh-tokoh yang terlibat, serta dampak jangka panjang Peristiwa Cumbok terhadap Aceh dan Republik Indonesia.

Latar Belakang Peristiwa Cumbok

Perang Cumbok, Bentuk Perlawanan Rakyat Aceh (1945-1946) | Baranom

1. Pertentangan antara Ulama dan Uleebalang

Selama masa kolonial Belanda, uleebalang (bangsawan daerah) menjadi kelompok elit lokal yang diberi kekuasaan administratif oleh pemerintah kolonial. Mereka mendapat hak pengetahuan mengatur wilayah, memungut pajak, dan memerintah rakyat dengan imbalan loyalitas terhadap Belanda.

Di sisi lain, ulama Aceh berjuang keras menentang penjajahan. Mereka tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga membangun basis pendidikan dan perlawanan. Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) berdiri pada 1939 dan menjadi wadah perjuangan kaum ulama dalam menentang pengaruh kolonial.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, terjadi kekosongan kekuasaan di berbagai daerah. Di Aceh, ulama melihat kesempatan untuk menggantikan kekuasaan uleebalang yang selama ini dianggap pro-Belanda.

2. Ketegangan Pasca-Proklamasi

Ketika berita kemerdekaan sampai ke Aceh, kaum PUSA langsung menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia. Sebaliknya, sebagian besar uleebalang justru meragukan Republik dan mempertahankan struktur kekuasaan lama. Beberapa dari mereka masih ingin mendekatkan diri dengan Belanda atau mempertahankan status quo.

Perbedaan sikap ini menimbulkan ketegangan politik yang cepat berubah menjadi konflik bersenjata, yang berpuncak di Cumbok, Aceh Barat Daya.

Jalannya Peristiwa Cumbok

1. PUSA Menggalang Kekuatan Rakyat

Ulama dari PUSA menggalang dukungan rakyat untuk menghapus pengaruh uleebalang. Mereka mengirim pengkhotbah ke berbagai pelosok, menyuarakan bahwa kekuasaan lama harus dihapus demi tegaknya Republik.

Kekuatan PUSA diperkuat oleh pemuda-pemuda Aceh yang baru pulang dari pendidikan dan pelatihan militer di Jawa, serta oleh para santri dan rakyat biasa yang percaya pada perjuangan ulama.

2. Pertempuran Meletus di Peristiwa Cumbok

Pada akhir Desember 1945, ketegangan mencapai puncaknya di Desa Cumbok, ketika bentrokan bersenjata pecah antara pasukan PUSA dan pendukung uleebalang. Pertempuran berlangsung sengit, dan ratusan orang menjadi korban, terutama dari pihak uleebalang yang tidak memiliki kekuatan militer sekuat PUSA.

Pertempuran Cumbok berlangsung selama beberapa hari, dan akhirnya kelompok PUSA berhasil mengalahkan kekuatan uleebalang di kawasan tersebut.

3. Meluasnya Konflik ke Wilayah Lain

Setelah kemenangan di Peristiwa Cumbok, pasukan PUSA melanjutkan gerakannya ke wilayah lain di Aceh, seperti Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe. Mereka mengambil alih kekuasaan tradisional dan mengganti struktur pemerintahan dengan kader PUSA yang pro-Republik.

Dalam prosesnya, banyak uleebalang yang melarikan diri, ditahan, atau bahkan dibunuh. Konflik ini benar-benar mengubah tatanan sosial-politik Aceh secara drastis.

Tokoh-Tokoh Penting Peristiwa Cumbok

Perang Cumbok, Kisah Kelam Politik Adu Domba “Aceh Bunuh Aceh”, Masih  Adakah Sekarang?

  • Teungku Daud Beureueh: Tokoh sentral ulama dan pemimpin PUSA, yang nantinya menjadi Gubernur Militer Aceh.

  • Uleebalang lokal: Tidak semua dikenal secara nasional, namun mereka mewakili elit tradisional Aceh yang mendukung status kolonial sebelumnya.

  • Pemuda-pemuda Aceh: Banyak pemuda dididik dan digerakkan oleh PUSA untuk memperjuangkan idealisme republik.

Artikel kesehatan, makanan sampai kecantikan lengkap hanya ada di: https://www.autonomicmaterials.com

Dampak Peristiwa Cumbok

1. Runtuhnya Kekuasaan Uleebalang

Peristiwa ini mengakibatkan runtuhnya sistem kekuasaan tradisional feodal yang selama berabad-abad mendominasi Aceh. Ulama menggantikan posisi elit lama dan memimpin pemerintahan serta organisasi sosial.

2. Terbukanya Jalan bagi Pemerintahan Republik

Dengan tersingkirnya uleebalang, PUSA dan kaum ulama membuka jalan bagi pemerintahan Republik Indonesia untuk menancapkan pengaruhnya di Aceh. Ini menjadikan Aceh sebagai salah satu daerah pertama yang benar-benar setia kepada Republik, bahkan sejak awal kemerdekaan.

3. Luka Sosial dan Memori Kolektif

Meskipun secara politik menguntungkan Republik, Peristiwa Cumbok meninggalkan luka sosial yang mendalam di masyarakat Aceh. Hubungan antara keturunan uleebalang dan ulama kadang masih menyimpan ketegangan hingga generasi berikutnya.

4. Peran Ulama Semakin Kuat

Setelah peristiwa ini, ulama Aceh memainkan peran sentral dalam politik dan pemerintahan lokal. Peran ini bertahan bahkan setelah masa kemerdekaan dan membentuk identitas sosial Aceh sebagai wilayah dengan pengaruh Islam yang sangat kuat dalam kehidupan publik.

Kesimpulan

Peristiwa Cumbok 1945–1946 adalah konflik horizontal di antara anak bangsa, yang dipicu oleh perbedaan kepentingan dan pandangan mengenai masa depan Aceh dan Indonesia. Konflik ini menjadi simbol dari peralihan kekuasaan dari elite tradisional ke kekuatan rakyat dan ulama, yang berperan besar dalam mendukung kemerdekaan.

Walau tragis, peristiwa ini menguatkan posisi Republik Indonesia di Aceh dan mempercepat proses nasionalisasi kekuasaan. Sejarah ini menjadi pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya melawan penjajah, tetapi juga memerlukan transformasi internal untuk menumbuhkan keadilan dan persatuan.

Baca juga artikel berikut: Konferensi Jenewa 1954: Peran Indonesia dalam Konflik Indochina

Author