Ilustrasi seorang wanita duduk di meja dengan laptop, dikelilingi jaringan globalisasi dunia sosial digital yang menghubungkan berbagai profil orang

Globalisasi Dunia: Ketimpangan Kemajuan yang Tidak Merata

Saya pertama kali merasakan dampak globalisasi dunia bukan dari berita di TV, tapi dari benda kecil di saku saya—smartphone. Produk ini dirakit di China, menggunakan chip dari Korea, aplikasi buatan Amerika, dan saya membelinya lewat e-commerce dari Singapura. Tanpa sadar, saya sudah menjadi bagian dari arus globalisasi dunia.

Namun semakin saya menyadari kenyamanan itu, semakin terasa juga ketimpangannya. Di kota saya saja, ada wilayah yang menikmati Wi-Fi cepat dan ekonomi digital, sementara wilayah tetangga masih kesulitan sinyal. Di skala global, jurangnya jauh lebih dalam.

Itu sebabnya saya percaya, globalisasi memang membuat dunia maju, tapi tidak semua pihak ikut maju secara merata. Dan saya ingin membahas ini dari pengalaman saya sebagai individu biasa yang merasakan langsung dinamika zaman.

Apa Itu Globalisasi Dunia?

Ilustrasi globalisasi dunia modern dengan latar belakang peta dunia, menunjukkan orang-orang dari berbagai profesi

Secara sederhana, globalisasi adalah proses meningkatnya keterhubungan antarnegara dalam bidang ekonomi, teknologi, budaya, dan informasi. Istilah ini sering terdengar rumit, tapi sebenarnya kita alami setiap hari.

Contohnya?

  • Makan pizza sambil nonton drama Korea

  • Kirim uang lintas negara dalam hitungan detik

  • Belanja produk luar negeri tanpa harus keluar rumah

Itulah globalisasi dunia—dunia yang seolah tanpa batas. Tapi seperti dua sisi mata uang, kemudahan ini juga membawa ketimpangan yang nyata.

Manfaat Globalisasi: Kenyamanan dan Akses yang Dulu Tak Tersentuh

Saya akui, hidup di era globalisasi banyak kemudahannya:

  • Akses informasi: Mau belajar coding, tinggal buka YouTube atau Coursera.

  • Produk murah: Barang impor kini lebih terjangkau.

  • Kesempatan kerja lintas negara: Banyak teman saya kerja remote untuk perusahaan luar negeri.

  • Inovasi cepat menyebar: Dari e-wallet, AI, hingga kendaraan listrik.

Bahkan di sektor pendidikan, saya bisa ikut seminar Harvard tanpa harus ke Boston. Dunia terasa lebih dekat. Tapi di balik itu, ada fakta yang sering terlupakan: tidak semua orang punya akses yang sama terhadap manfaat globalisasi.

Ketimpangan Globalisasi Dunia yang Saya Saksikan Langsung

Saya pernah ikut program pengabdian ke desa terpencil di Indonesia Timur. Saat kami bicara tentang startup dan AI, anak-anak di sana bahkan belum pernah menyentuh komputer. Padahal, kita hidup di negara yang sama, di tahun yang sama.

Itulah yang membuat saya sadar: globalisasi tidak menyentuh semua tempat dengan cara yang sama. Ada tempat yang “tertinggal”, bukan karena malas, tapi karena tertinggal infrastruktur dan akses.

Bahkan secara global:

  • Negara berkembang mengekspor bahan mentah, negara maju mengekspor teknologi.

  • Negara miskin bergantung pada pinjaman luar negeri.

  • Akses ke vaksin, pendidikan digital, bahkan iklim investasi masih berat sebelah.

Siapa yang Paling Diuntungkan dari Globalisasi Dunia?

Dalam banyak kasus, negara maju dan korporasi besar-lah yang paling untung. Saya lihat sendiri merek-merek global mengambil alih pasar lokal, kadang tanpa memberi ruang bagi UMKM bertumbuh.

Contohnya:

  • Produk lokal kalah saing karena tak punya akses iklan dan logistik.

  • Talent lokal diambil tapi dikontrak murah.

  • Platform digital global mengambil data pengguna di negara berkembang tapi bayar pajak di negara asal.

Inilah yang disebut dengan neo-kolonialisme digital. Tampak modern, tapi secara struktur ekonomi tetap membuat negara maju mendominasi.

Apakah Negara Berkembang Hanya Jadi Pasar?

Saya pernah ikut diskusi akademik yang membahas: “Apakah Indonesia hanya jadi pasar dalam era globalisasi?” Jawaban sederhananya: kalau tidak siap, ya bisa jadi.

Tapi saya juga melihat perlawanan:

  • Startup lokal yang mulai mendunia

  • Gerakan cinta produk lokal

  • Kebijakan nasionalisasi sektor digital

Kuncinya adalah kita harus punya daya saing dan kemandirian. Jangan cuma jadi konsumen, tapi juga produsen.

Peran Teknologi dalam Memperbesar atau Memperkecil Ketimpangan

Teknologi bisa jadi alat pendorong pemerataan. Tapi juga bisa jadi pisau tajam yang memperlebar jurang.

Misalnya:

  • Internet cepat hanya tersedia di kota besar

  • Kurikulum digital belum merata di semua sekolah

  • E-commerce memberdayakan UMKM, tapi juga mematikan toko kecil tradisional

Saya ingat ketika teman saya di Papua bilang, “Di sini belum bisa Zoom, sinyal hilang terus.” Sementara di kota saya, anak SD sudah ikut coding bootcamp. Inilah ironi globalisasi dunia yang harus kita hadapi bersama.

Upaya Pemerintah dan Masyarakat: Menjawab Tantangan Globalisasi

Saya mengapresiasi upaya pemerintah seperti:

  • Tol langit untuk internet nasional

  • Gerakan 100 Smart City

  • Ekspor produk UMKM melalui e-commerce

Saya juga lihat banyak komunitas lokal mengajarkan literasi digital di desa. Tapi ini belum cukup. Globalisasi butuh gotong royong. Butuh:

  • Pendidikan yang adil

  • Konektivitas merata

  • Perlindungan hukum atas data dan pasar digital

Saya berharap masyarakat juga lebih kritis dan aktif. Jangan hanya konsumtif, tapi mulai kreatif dan produktif.

Kasus Unik: Ketimpangan Vaksin dan Globalisasi Kesehatan

Salah satu bukti paling nyata ketimpangan global adalah distribusi vaksin COVID-19. Negara maju mengamankan stok tiga kali lipat kebutuhan. Negara berkembang? Banyak yang antre dengan pasrah.

Ini membuat saya sadar bahwa globalisasi kesehatan masih belum adil. Akses terhadap kesehatan, yang seharusnya jadi hak semua, ternyata sangat dipengaruhi oleh posisi tawar negara.

Kita perlu dorong sistem global yang lebih berkeadilan, lebih inklusif, dan lebih transparan.

Globalisasi Budaya: Kaya Tapi Bisa Bikin Lupa Akar

Saya suka nonton film Korea, dengar musik barat, dan ikut tren fashion global. Tapi di saat yang sama, saya juga mulai rindu masakan ibu, cerita rakyat, dan bahasa daerah saya.

Globalisasi memang memperkaya budaya, tapi juga bisa membuat budaya lokal tergeser. Ini yang disebut “homogenisasi budaya.” Dunia jadi satu, tapi semua jadi seragam.

Solusinya? Seimbangkan. Bangga pakai batik sambil nonton Netflix. Promosikan budaya kita di platform global, bukan meninggalkannya.

Masa Depan Globalisasi Dunia: Ke Mana Kita Bergerak?

Saya percaya, globalisasi tidak bisa dihentikan. Tapi bisa diarahkan.

Masa depan globalisasi akan dipengaruhi oleh:

  • Teknologi baru (AI, blockchain)

  • Perubahan iklim

  • Krisis geopolitik

  • Peran anak muda dan masyarakat sipil

Kita butuh model globalisasi yang lebih etis dan adil. Model yang tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tapi memberdayakan semua.

Banyak organisasi dunia, seperti World Economic Forum, sudah mulai mendorong diskusi soal kesetaraan global dalam transformasi digital. Saya berharap ini bukan sekadar wacana.

Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Individu?

Kamu dan saya memang bukan kepala negara. Tapi kita tetap punya peran. Berikut beberapa hal kecil tapi berarti:

  • Beli produk lokal

  • Sebarkan pengetahuan ke daerah tertinggal

  • Dukung UMKM digital

  • Ikut komunitas literasi atau pelatihan digital

  • Bantu promosi budaya lokal di media sosial

Saya percaya, perubahan tidak harus datang dari atas. Kalau setiap orang mengambil satu langkah kecil, dampaknya bisa besar.

Kesimpulan: Globalisasi Dunia Harus Ditegakkan dengan Keadilan

Globalisasi adalah kenyataan. Dunia makin terhubung. Tapi hubungan ini jangan hanya satu arah. Harus saling menguatkan, bukan menghisap.

Saya pribadi sangat bersyukur hidup di era globalisasi. Tapi saya juga terus belajar, bahwa kemajuan pribadi bukan alasan untuk menutup mata terhadap ketimpangan yang ada.

Karena akhirnya, kemajuan sejati adalah ketika tidak ada yang tertinggal. Bukan ketika segelintir orang melaju kencang, sementara sisanya tertinggal di halte sejarah.

Buku adalah jendela pengetahuan, banyak tahu sebelum menghadapi globalisasi dunia dengan: Resensi Novel: Panduan Menilai Karya Sastra dengan Tajam

Author