Perjanjian Renville adalah salah satu perundingan antara Republik Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perjanjian ini dibuat setelah Agresi Militer Belanda I (21 Juli – 5 Agustus 1947), di mana Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dan menyerang wilayah Republik Indonesia. Dengan tekanan dunia internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perundingan ini akhirnya dilakukan.
Meskipun diharapkan dapat menjadi solusi damai, hasil Perjanjian Renville justru merugikan Indonesia. Perjanjian ini mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia, tetapi di sisi lain, memicu semangat perlawanan yang lebih kuat dari rakyat dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Artikel ini akan membahas latar belakang, isi perjanjian, dampak, serta bagaimana Perjanjian Renville justru menjadi titik balik dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Latar Belakang Perjanjian Renville
Setelah Perjanjian Linggarjati gagal, Belanda kembali berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer Belanda I. Beberapa faktor utama yang melatarbelakangi perundingan ini adalah:
1. Pelanggaran Perjanjian Linggarjati oleh Belanda
- Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 15 November 1946 seharusnya menjadi solusi damai.
- Namun, Belanda melanggarnya dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I, yang merebut banyak wilayah Republik Indonesia.
2. Tekanan Internasional Perjanjian Renville terhadap Belanda
- PBB mulai mengecam tindakan Belanda karena dianggap sebagai upaya kolonialisme.
- Amerika Serikat dan Inggris menekan Belanda untuk segera menghentikan agresinya dan kembali ke meja perundingan.
3. Situasi Militer Perjanjian Renville yang Tidak Menguntungkan Indonesia
- Belanda berhasil menguasai banyak wilayah strategis, terutama di Jawa dan Sumatra.
- Indonesia mengalami kesulitan karena persenjataan dan pengetahuan yang terbatas.
- Pemerintah Indonesia terpaksa menerima perundingan sebagai strategi untuk menyelamatkan kedaulatan.
Dengan kondisi ini, perundingan pun dilakukan di kapal USS Renville, yang menjadi lokasi netral untuk kedua belah pihak.
Isi Perjanjian Renville
Perjanjian ini ditandatangani pada 17 Januari 1948, dengan perantara Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari:
- Amerika Serikat (Graham)
- Australia (McMahon Ball)
- Belgia (Paul Van Zeeland)
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Beberapa poin utama dalam Perjanjian Renville adalah:
- Belanda hanya mengakui wilayah Republik Indonesia yang meliputi Yogyakarta, sebagian kecil Jawa Tengah, dan Sumatra.
- Wilayah yang berhasil diduduki Belanda dalam Agresi Militer I dianggap sebagai bagian dari Belanda.
- TNI harus menarik pasukannya dari daerah-daerah yang telah direbut Belanda, sesuai dengan garis demarkasi Van Mook.
- Akan dibentuk pemilihan umum untuk menentukan bentuk negara Indonesia di masa depan.
Secara keseluruhan, Perjanjian Renville sangat merugikan Indonesia karena semakin mempersempit wilayah Republik Indonesia.
Dampak Perjanjian Renville
Meskipun dirancang untuk menciptakan perdamaian, perjanjian ini justru memicu berbagai perlawanan baru dan mempercepat perjuangan menuju kemerdekaan yang lebih luas.
1. Wilayah Republik Indonesia Semakin Terbatas
- Sebelum perjanjian, Indonesia masih menguasai Jawa, Sumatra, dan Madura.
- Setelah perjanjian ini, hanya Yogyakarta dan beberapa wilayah kecil lainnya yang tetap dikuasai Indonesia.
- TNI terpaksa meninggalkan wilayah yang direbut Belanda, yang membuat posisi pertahanan semakin lemah.
2. Pemerintah Indonesia Terpecah
- Perdana Menteri Amir Sjarifuddin yang menandatangani perjanjian ini mendapat banyak kecaman.
- Kelompok nasionalis dan militer menganggap Amir Sjarifuddin terlalu lunak terhadap Belanda.
- Akibatnya, Amir Sjarifuddin dipaksa mundur, dan posisinya digantikan oleh Mohammad Hatta.
3. Perlawanan Rakyat Perjanjian Renville Semakin Menguat
- Rakyat Indonesia melihat bahwa Belanda terus mengkhianati perjanjian-perjanjian yang dibuat.
- Hal ini menyulut semangat perlawanan yang lebih kuat, terutama dari kelompok pejuang gerilya.
- Jenderal Soedirman mulai menyusun strategi perang gerilya untuk menghadapi Belanda.
4. Munculnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
- Ketika Belanda melanggar perjanjian ini dengan melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, pemerintah Indonesia terpaksa mengungsi.
- Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Bukittinggi, Sumatra, di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara.
- PDRI memainkan peran penting dalam menjaga eksistensi Republik Indonesia selama agresi Belanda.
5. Persiapan ke Konferensi Meja Bundar (KMB)
- Kegagalan perjanjian ini membuka jalan bagi perundingan berikutnya, yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949.
- KMB akhirnya menjadi titik akhir perjuangan diplomasi Indonesia, yang berujung pada pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Mengapa Perjanjian Renville Gagal?
1. Belanda Tidak Tulus dalam Perundingan
- Seperti Perjanjian Linggarjati, Belanda hanya menggunakan perundingan ini sebagai strategi untuk memperkuat posisinya.
- Setelah mendapatkan keuntungan dari perjanjian ini, Belanda kembali melancarkan agresi militer.
2. Ketidakpuasan di Internal Pemerintah Indonesia
- Banyak tokoh nasionalis dan militer menolak perjanjian ini, karena dianggap sebagai bentuk penyerahan wilayah kepada Belanda.
- Perdana Menteri Amir Sjarifuddin kehilangan kepercayaan dari rakyat dan akhirnya mundur dari jabatannya.
3. Perlawanan Rakyat Semakin Besar
- Rakyat Indonesia tidak menerima hasil perjanjian ini dan tetap melakukan perlawanan.
- Gerakan perang gerilya semakin berkembang di berbagai daerah.
Pada akhirnya, Perjanjian Renville tidak mampu menghentikan konflik antara Indonesia dan Belanda.
Kesimpulan
Perjanjian Renville adalah contoh nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan diplomasi, tetapi juga harus diperkuat dengan perlawanan rakyat.
Meskipun secara de facto perjanjian ini mempersempit wilayah Republik Indonesia, tetapi justru membakar semangat perjuangan lebih besar. Dengan strategi perang gerilya, dukungan rakyat, dan tekanan internasional, Indonesia akhirnya berhasil memperoleh pengakuan kedaulatan penuh pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak diberikan, tetapi diperjuangkan dengan pengorbanan besar dan strategi yang matang.
Baca juga artikel berikut: Konferensi Asia Afrika: Peristiwa Bersejarah Mengguncang Dunia