Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah politik Jawa dan kolonialisme di Nusantara. Perjanjian ini mengakhiri konflik internal di Kesultanan Mataram tetapi juga memecah kerajaan tersebut menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yang menjadi mediator dalam perjanjian ini, memanfaatkan perpecahan tersebut untuk semakin memperkuat cengkeramannya di Jawa. Perjanjian ini menjadi strategi klasik politik kolonial “divide et impera” (politik pecah belah), yang membuat Jawa semakin terfragmentasi dan lebih mudah dikendalikan oleh Belanda.
Artikel ini akan membahas latar belakang Perjanjian Giyanti, isi perjanjiannya, dampaknya terhadap politik Jawa, serta bagaimana hal ini membuka jalan bagi kolonialisme di Indonesia.
Latar Belakang Perjanjian Giyanti
1. Kemunduran Kesultanan Mataram
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, Kesultanan Mataram adalah kekuatan terbesar di Jawa, tetapi mulai mengalami kemunduran akibat beberapa pengetahuan faktor:
- Perlawanan internal antar bangsawan dan keturunan kerajaan, yang sering kali berujung pada perang saudara.
- Campur tangan VOC, yang semakin menanamkan pengaruhnya di Jawa melalui utang, perjanjian politik, dan intervensi militer.
- Beban pajak yang berat pada rakyat, akibat meningkatnya tekanan ekonomi dari VOC.
Puncak ketegangan terjadi pada 1746, ketika Pangeran Mangkubumi menentang kepemimpinan Susuhunan Pakubuwono II yang dianggap terlalu tunduk kepada VOC.
2. Perlawanan Perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi
- Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Susuhunan Pakubuwono II yang tidak setuju dengan kebijakan VOC di Mataram.
- Pada 1746, ia memberontak melawan kekuasaan kakaknya dan VOC, didukung oleh para bangsawan dan rakyat yang kecewa terhadap pemerintahan Mataram yang semakin lemah.
- Bersama Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), Mangkubumi memimpin perang selama 9 tahun melawan VOC dan pasukan kerajaan Surakarta.
- Perlawanan ini mengguncang kestabilan Jawa, yang akhirnya mendorong VOC untuk menawarkan perundingan demi mengamankan kepentingan dagangnya.
Isi Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755)
Perjanjian ini ditandatangani di desa Giyanti, yang terletak di sebelah timur Kota Surakarta.
1. Pembagian Wilayah Mataram
- Kesultanan Mataram secara resmi dibagi menjadi dua wilayah:
- Kesultanan Yogyakarta, yang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
- Kasunanan Surakarta, yang tetap berada di bawah kekuasaan Pakubuwono III (putra Pakubuwono II).
2. Pangeran Mangkubumi Mengakui VOC
- Pangeran Mangkubumi harus mengakui kekuasaan VOC di Jawa dan menjalin hubungan dagang dengan mereka.
- VOC memberikan pengakuan kepada Kesultanan Yogyakarta sebagai kerajaan merdeka, tetapi dengan batasan tertentu yang tetap menguntungkan Belanda.
3. VOC Mendapatkan Keuntungan Ekonomi dan Politik
- VOC mendapatkan hak monopoli dagang dan kontrol ekonomi di kedua kerajaan.
- Kedua penguasa harus membayar upeti kepada VOC, yang semakin mengokohkan pengaruh Belanda di Jawa.
Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, Kesultanan Mataram yang dulunya bersatu kini terbagi dua, membuka jalan bagi kolonialisme lebih lanjut di tanah Jawa.
Dampak Perjanjian Giyanti
1. Perpecahan Perjanjian Giyanti yang Melemahkan Mataram
- Kesultanan Mataram yang dulunya kuat kini terbagi menjadi dua kekuatan politik yang saling bersaing.
- Persaingan antara Yogyakarta dan Surakarta sering dimanfaatkan VOC untuk mempertahankan kontrol atas kedua wilayah tersebut.
2. VOC Semakin Kuat di Jawa
- Dengan adanya dua kerajaan yang tunduk pada VOC, Belanda tidak perlu lagi menghadapi perlawanan dari satu kekuatan besar.
- VOC menjadi mediator dalam konflik antara Yogyakarta dan Surakarta, membuat kedua pihak bergantung pada mereka.
3. Lahirnya Kesultanan Yogyakarta
- Perjanjian ini menjadi awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta, yang hingga kini masih menjadi bagian penting dari budaya dan sejarah Jawa.
- Sultan Hamengkubuwono I membangun Keraton Yogyakarta, yang menjadi pusat pemerintahan baru dan berkembang sebagai pusat budaya Jawa.
4. Munculnya Perlawanan Baru dari Raden Mas Said
- Tidak semua pihak setuju dengan Perjanjian Giyanti.
- Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) menolak perjanjian ini dan melanjutkan perlawanan terhadap VOC dan Surakarta hingga akhirnya ia mendapatkan wilayah sendiri melalui Perjanjian Salatiga (1757).
- Perjanjian Salatiga kembali memecah Mataram lebih jauh, dengan lahirnya Mangkunegaran sebagai kerajaan kecil di Surakarta.
Suka bermain game? Cek juga https://teckknow.com untuk tahu update game terlengkap 2025!
Perjanjian Giyanti dan Politik Pecah Belah VOC
Perjanjian Giyanti adalah contoh nyata dari strategi “divide et impera” (pecah belah dan kuasai) yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia.
- VOC tidak perlu menaklukkan Mataram secara langsung, cukup dengan membuat para penguasa Jawa saling bersaing dan bergantung kepada mereka.
- Setelah perpecahan ini, Jawa semakin mudah dikontrol, karena tidak ada lagi satu kekuatan besar yang bisa menyaingi VOC.
- Pola ini kemudian digunakan kembali oleh Belanda dalam berbagai perjanjian lain, seperti Perjanjian Salatiga (1757) dan Perjanjian Bongaya (1667) di Sulawesi.
Kesimpulan
Perjanjian Giyanti (1755) adalah titik balik dalam sejarah Jawa yang menandai berakhirnya kejayaan Kesultanan Mataram sebagai kerajaan besar dan awal dari dominasi kolonial Belanda.
Meskipun perjanjian ini menghasilkan Kesultanan Yogyakarta yang tetap bertahan hingga kini, perpecahan yang ditimbulkan justru semakin melemahkan kekuatan politik Jawa dan membuatnya lebih mudah dikendalikan oleh VOC.
Dampak dari perjanjian ini terasa hingga saat ini, di mana perpecahan yang dimulai sejak era kolonial terus membentuk dinamika politik dan budaya di Jawa. Sejarah ini menjadi pengingat bahwa persatuan adalah kunci utama dalam menghadapi kekuatan asing, agar bangsa tidak mudah dipecah belah oleh kepentingan luar.
Baca juga artikel berikut: Peristiwa Guling Pangeran Diponegoro: Berkhianat di Perundingan