Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka: Pengalaman Saya Menyesuaikan Diri

Pertama kali dengar istilah Kurikulum Merdeka, jujur saya agak… sinis.

“Merdeka belajar? Maksudnya apa? Bebas semaunya?”

Tapi ternyata saya salah besar. Begitu mulai diterapkan di sekolah tempat saya ngajar (dan juga tempat anak saya sekolah), saya pelan-pelan mulai paham. Ini bukan soal kebebasan semau gue, tapi kebebasan yang terarah.

Saya Awalnya Ragu Banget dengan Kurikulum Merdeka

 

Kurikulum Merdeka

Apa Itu Kurikulum Merdeka?

Singkatnya, Kurikulum Merdeka adalah pendekatan baru dari Kemdikbudristek yang menekankan:

  • Pembelajaran berbasis proyek (P5: Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila)

  • Fleksibilitas dalam menyusun materi dan metode

  • Fokus pada kompetensi, bukan sekadar hafalan

  • Peran aktif siswa dalam menentukan gaya belajar

Dan yang paling kerasa banget: guru nggak lagi jadi pusat segalanya—anak-anak lebih aktif, lebih eksploratif.

Transisi Pertama: Bingung, Kaget, Tapi Menarik

Saya mulai ngajar pakai pendekatan Kurikulum Merdeka di semester ganjil tahun 2023. Awalnya… chaos.

  • Modul ajar belum lengkap.

  • Rekan guru masih kebingungan.

  • Anak-anak bingung: “Ini harus jawab apa, Bu?”

Tapi dari situ justru muncul hal menarik:

Anak-anak mulai nanya lebih banyak.
Mereka jadi kreatif, bahkan berani beda pendapat.
Dan saya? Dipaksa belajar ulang cara mengajar.

Pelajaran Berharga dari Kurikulum Merdeka

  1. Anak-anak punya potensi luar biasa kalau dikasih ruang.
    Dulu mereka takut salah. Sekarang, mereka bebas bereksperimen.

  2. Guru harus siap jadi fasilitator, bukan diktator.
    Saya nggak lagi sibuk ceramah 45 menit, tapi jadi mentor diskusi.

  3. P5 itu powerful banget.
    Waktu anak-anak bikin proyek tentang lingkungan, saya lihat mereka lebih serius dari ulangan harian.

Tantangan yang Masih Sering Dihadapi

Tentu saja, tidak semua semulus teori. Ada banyak tantangan, seperti:

  • Fasilitas terbatas.
    Bikin proyek tanpa lab atau internet itu tantangan tersendiri.

  • Ketimpangan antar sekolah.
    Sekolah di kota lebih mudah adaptasi dibanding di desa.

  • Orang tua yang belum paham.
    Banyak yang masih nanya, “Nilainya mana? Ujian kapan?”

Orang Tua Juga Harus Belajar

Sebagai orang tua, saya juga harus ubah mindset.

Dulu saya selalu tanya ke anak:

“Ranking kamu berapa?”

Sekarang saya ganti:

“Kamu belajar apa minggu ini?”
“Kamu kerja sama tim gimana?”
“Ada hal seru nggak dari projeknya?”

Ternyata… anak saya lebih semangat cerita. Dan saya lebih paham proses belajarnya.

Teknologi + Kurikulum Merdeka = Kombinasi Keren

Kurikulum Merdeka

Saya pribadi mulai pakai tools digital kayak:

  • Google Classroom

  • Canva untuk presentasi anak

  • Padlet untuk brainstorming ide proyek

  • Mentimeter buat voting gagasan siswa

Dan ini bikin suasana kelas jauh lebih interaktif. Anak-anak yang biasanya pasif, jadi mau tampil.

Masa Depan Kurikulum Merdeka: Harapan Saya

Saya berharap kurikulum ini terus dikembangkan, bukan diganti lagi. Karena:

  • Sudah mulai terbangun budaya belajar yang sehat.

  • Siswa lebih kreatif dan komunikatif.

  • Nilai bukan satu-satunya indikator kemajuan.

Tapi juga… mohon banget:

  • Guru dan sekolah di daerah dapat pelatihan setara.

  • Orang tua dikasih edukasi juga, bukan cuma siswa.

Penutup: Kurikulum Merdeka Memang Bukan Instan, Tapi Layak Diperjuangkan

Kalau kamu tanya saya sekarang,

“Mau balik ke kurikulum lama atau lanjut Merdeka?”

Saya akan jawab:
“Lanjut. Tapi sambil terus belajar dan berbenah bareng-bareng.”

Karena pendidikan itu bukan soal cepat-cepatan lulus.
Tapi soal membentuk manusia yang utuh, kritis, dan siap hidup di dunia yang berubah.

Baca Juga Artikel dari: Aplikasi Coding Anak Paling Seru dan Edukatif

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan

Author