Jakarta, adminca.sch.id – Material Dangerous satu siang di kawasan industri Cilegon, seorang mandor konstruksi memperingatkan kru proyek agar tak menyentuh langsung panel dinding yang baru datang. “Itu masih ada kandungan asbes, jangan sembrono!” katanya sambil menyodorkan sarung tangan pelindung.
Kalimat itu mungkin terdengar biasa di lapangan, tapi menyimpan makna besar: bahwa pengetahuan tentang material dangerous (bahan berbahaya) tidak datang begitu saja dari buku, tapi dari praktik nyata—pengalaman di lapangan, lintas generasi, bahkan dari tragedi.
Di sinilah kita masuk ke ranah konstruksi pengetahuan—bagaimana para pelaku industri bangunan memahami, mendefinisikan, dan menyebarkan informasi tentang bahaya bahan bangunan. Ini bukan cuma urusan teknis, tapi juga sosial, etis, bahkan politis.
Apa Itu Material Dangerous dalam Konteks Konstruksi?
Material dangerous atau bahan berbahaya dalam konstruksi mengacu pada jenis-jenis bahan bangunan yang:
-
Berisiko terhadap kesehatan manusia.
-
Meninggalkan jejak lingkungan berbahaya.
-
Memicu kecelakaan kerja atau konstruksi.
Contoh Umum:
-
Asbes: dahulu populer karena tahan api, kini dilarang di banyak negara karena terbukti memicu kanker paru.
-
Timbal (Pb) dalam cat: sangat beracun bila terhirup atau tertelan, terutama oleh anak-anak.
-
Formaldehida: terdapat pada beberapa panel kayu buatan, bersifat karsinogenik.
-
PVC yang tidak distabilisasi: bisa melepaskan zat berbahaya saat terbakar.
-
Fiberglass tertentu: partikel halusnya bisa merusak saluran pernapasan.
Namun, pengenalan terhadap material berbahaya ini tidak selalu jelas di awal. Di sinilah letak pentingnya konstruksi sosial terhadap pengetahuan—apa yang dulu dianggap “normal” bisa jadi hari ini dianggap “beracun.”
Konstruksi Pengetahuan: Dari Buku Teknik ke Praktik Lapangan
Mari kita bayangkan seorang lulusan teknik sipil baru masuk proyek pertamanya. Di kampus, ia belajar tentang kuat tekan beton, modulus elastisitas baja, dan efisiensi struktur. Tapi begitu sampai lapangan, ia dihadapkan pada hal yang tak tertulis di textbook:
-
Apa yang harus dilakukan kalau lem perekat ternyata mengandung pelarut beracun?
-
Bagaimana cara mengenali serpihan asbes dari puing bangunan lama?
-
Siapa yang bertanggung jawab kalau pekerja sakit karena bahan kimia?
Di sinilah pengetahuan tentang material dangerous dikonstruksi melalui praktik sosial:
-
Dari percakapan antar pekerja.
-
Dari pengalaman pribadi yang tak selalu tercatat.
-
Dari tragedi yang kemudian membentuk kebijakan.
Contohnya, kasus paparan asbes di pabrik tua di Semarang tahun 2012 baru diketahui publik setelah ada pekerja yang meninggal karena fibrosis paru. Sejak itu, diskursus tentang “material berbahaya” mulai masuk kurikulum politeknik teknik bangunan di wilayah tersebut.
Regulasi dan Etika: Siapa yang Menentukan Batas Bahaya?
Bicara material dangerous tidak bisa dilepaskan dari ranah regulasi dan politik pengetahuan.
Contoh nyata:
-
Indonesia masih memperbolehkan beberapa penggunaan asbes terbatas, padahal WHO sudah merekomendasikan pelarangan penuh.
-
Standar SNI (Standar Nasional Indonesia) kadang tertinggal dibanding ISO atau regulasi Eropa dalam mengenali bahan berisiko baru.
-
Desakan industri juga sering mempengaruhi sejauh mana bahan dinyatakan “aman” secara hukum.
Artinya: bahaya tidak selalu ditentukan oleh ilmu pengetahuan murni, tapi juga oleh negosiasi antara industri, regulator, dan komunitas.
Ini tantangan besar bagi para profesional: apakah mereka akan mengikuti standar inca construction, atau mengambil sikap etis yang lebih ketat demi keselamatan?
Transformasi Pengetahuan: Dari Bahaya Menjadi Inovasi
Untungnya, kesadaran terhadap bahaya material terus berkembang. Banyak inovator bahan bangunan kini mengembangkan alternatif yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Contoh Inovasi:
-
Cat berbahan dasar air (water-based paint) menggantikan cat solvent yang beracun.
-
Panel bangunan dari jerami tekan menggantikan kayu formaldehida tinggi.
-
Beton ramah lingkungan dengan fly ash dan slag bebas merkuri.
Lebih jauh lagi, kampus-kampus teknik di Indonesia mulai memasukkan etika lingkungan dan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) sebagai mata kuliah wajib. Bahkan beberapa proyek besar seperti pembangunan IKN di Kalimantan, kini mewajibkan audit material dangerous sebelum konstruksi dimulai.
Penutup: Membangun Tak Hanya Fisik, Tapi Juga Kesadaran
Di balik beton, baja, dan bata yang menjulang menjadi gedung-gedung modern, ada jaringan pengetahuan tak kasat mata tentang apa yang aman, apa yang berbahaya, dan bagaimana kita memutuskan batasnya.
Material dangerous bukan cuma daftar bahan di dokumen teknis. Ia adalah hasil dari proses konstruksi pengetahuan—dimana sains, pengalaman lapangan, regulasi, dan etika berperan bersama.
Sebagai pelaku industri, akademisi, atau bahkan pengguna akhir bangunan, kita semua punya peran dalam menyebarkan kesadaran: bahwa konstruksi yang baik bukan hanya kuat dan indah, tapi juga aman bagi manusia dan lingkungan.
Baca Juga Artikel dari: Reuse Material: Wujudkan Inovasi Hijau yang Dinamis
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait : Pengetahuan