Jujur aja, dulu saya nggak terlalu mikirin soal hewan Animalia. Mereka ya cuma… ada. Kucing tidur di atap, burung berkicau di pagi hari, sapi lewat depan rumah waktu Lebaran. Tapi semua itu berubah saat saya mulai tertarik pada dokumenter tentang alam liar. Entah kenapa, semakin saya nonton, semakin saya merasa kayak ditarik masuk ke dunia yang jauh lebih besar dan rumit dari yang saya pikir.
Dan sekarang? Saya terobsesi.
Dunia hewan, atau kingdom Animalia, itu kayak puzzle biologis raksasa. Miliaran spesies, dari yang bisa kamu pelihara sampai yang hidup di dasar laut yang belum pernah kita jamah. Rasanya kayak ngintip isi lemari Tuhan, yang isinya bukan cuma satu planet, tapi banyak dunia dalam satu bola biru ini.
Evolusi dan Keragaman Spesies Animalia
Salah satu hal pertama yang bikin saya terperangah adalah betapa beragamnya spesies di kingdom Animalia ini. Ada lebih dari 8 juta spesies hewan yang kita tahu, dan kemungkinan masih jutaan lagi yang belum ditemukan. Dari cacing mikroskopik sampai paus biru seberat 150 ton.
Saya sempat mikir, “kok bisa ya semua ini muncul dari satu nenek moyang bersama?” Ternyata jawabannya ada di evolusi.
Hewan berubah, beradaptasi, mutasi genetik, dan seleksi alam bekerja selama jutaan tahun. Misalnya, jerapah yang lehernya panjang karena harus makan daun dari pohon tinggi. Atau burung unta yang kehilangan kemampuan terbang tapi jadi jago lari karena harus menghindari predator.
Itu bukan kebetulan. Itu adalah hasil dari tekanan lingkungan yang terus-menerus menyeleksi siapa yang bisa bertahan dan berkembang biak. Setiap bentuk tubuh, perilaku, warna, dan ukuran hewan itu adalah adaptasi.
Animalia Vertebrata vs Invertebrata: Siapa yang Dominan?
Kalau saya tanya, hewan apa yang paling banyak di dunia? Mungkin kamu jawab: “ikan?”, “serangga?”, atau “manusia?” Tapi secara kuantitas, invertebrata (hewan tanpa tulang belakang) jauh lebih banyak dari vertebrata (hewan bertulang belakang).
Serangga sendiri menyumbang sekitar 80% dari seluruh spesies hewan yang diketahui.
Jujur saya sempat ngerasa geli juga waktu tahu fakta ini. Serangga yang kecil-kecil itu? Mereka justru penguasa bumi dari segi jumlah dan daya tahan.
Contohnya, tardigrade alias beruang air. Ini hewan mikroskopik yang bisa hidup di luar angkasa, di suhu mendidih, beku, bahkan radiasi ekstrem. Kalau kiamat datang, kemungkinan besar dia yang masih hidup, bukan kita.
Rantai Makanan dan Ekosistem Animalia
Saya belajar bahwa dalam dunia hewan, semua saling terhubung. Nggak ada hewan yang hidup sendirian tanpa bergantung pada makhluk lain, langsung atau nggak langsung. Dari produsen (tanaman), ke herbivora, ke karnivora, ke dekomposer—itu semua bagian dari rantai makanan.
Waktu saya camping di Kalimantan, saya pernah menyaksikan seekor burung elang memakan ular kecil. Dan saya sadar, itu bukan cuma soal siapa makan siapa, tapi soal keseimbangan ekosistem.
Kalau satu spesies menghilang, yang lain bisa kacau. Contoh paling nyata? Saat manusia memburu serigala di Yellowstone, populasi rusa jadi meledak dan tumbuhan habis. Tapi setelah serigala di-reintroduksi, semuanya kembali seimbang.
Ini pelajaran paling penting yang saya dapat: keanekaragaman bukan sekadar variasi, tapi fondasi dari stabilitas alam.
Strategi Bertahan Hidup yang Luar Biasa
Kadang saya mikir, hewan itu kayak ilmuwan alam. Mereka menemukan cara bertahan hidup yang bahkan manusia belum bisa replikasi.
Contoh:
-
Cumi-cumi yang bisa berubah warna dan bentuk tubuhnya buat kamuflase.
-
Katak kayu Alaska yang bisa membekukan tubuhnya selama musim dingin.
-
Ikan arwana yang bisa melompat keluar air untuk menangkap mangsa.
-
Ular derik yang memperingatkan predator pakai ekornya.
Yang paling aneh buat saya adalah semut zombie—serius, ada jamur yang bisa mengendalikan otak semut dan bikin mereka memanjat tinggi, lalu mati supaya jamurnya bisa tumbuh dan menyebar. Kayak film horor beneran!
Interaksi Sosial dan Kecerdasan Animalia
Dulu saya kira hanya manusia yang bisa “berpikir”. Tapi setelah baca beberapa jurnal dan nonton dokumenter, saya salah besar.
Gajah bisa berduka. Mereka berkumpul di sekitar tulang belulang anggota keluarganya yang mati dan menyentuhnya dengan belalai.
Lumba-lumba dikenal pintar banget, bahkan bisa saling memanggil pakai “nama” khas mereka.
Gagak dan burung kakatua bisa menyelesaikan puzzle yang cukup kompleks. Bahkan ada gagak yang bisa membuat alat dari ranting.
Bahkan ayam, hewan yang sering diremehkan, punya hierarki sosial dan bisa mengenali lebih dari 100 wajah ayam lain. Gokil kan?
Semakin saya pelajari, semakin saya sadar bahwa kesadaran dan kecerdasan bukan milik manusia saja.
Dunia Mikro: Animalia yang Tak Terlihat
Satu hal yang saya pelajari belakangan ini dan bikin saya bengong adalah soal dunia mikro. Banyak banget hewan kecil yang hidup di air, di tanah, bahkan di tubuh kita. Mereka disebut mikrofauna.
Contohnya rotifera, hewan mikroskopik yang hidup di genangan air. Mereka punya rahang berputar, kayak blender mini.
Atau nematoda, cacing mikroskopik yang jumlahnya triliunan dan hidup di hampir setiap ekosistem. Bahkan ada di dasar laut terdalam!
Awalnya saya jijik mikirnya. Tapi setelah tahu betapa pentingnya mereka dalam siklus nutrisi, saya jadi respek.
Peran Hewan dalam Kehidupan Manusia
Sejak dulu, hewan udah jadi bagian dari hidup manusia. Sebagai teman, makanan, alat transportasi, dan sekarang juga sebagai terapi mental.
Saya pernah ngalamin masa-masa stres berat, dan waktu itu cuma kucing saya yang bikin saya bertahan. Dia nggak ngapa-ngapain, cuma duduk di pangkuan saya sambil dengkur. Tapi efeknya luar biasa.
Nggak heran sekarang banyak terapi berbasis hewan—animal-assisted therapy—yang membantu orang-orang dengan PTSD, autisme, dan depresi.
Hewan juga membantu dalam bidang sains. Lumba-lumba digunakan untuk navigasi sonar, lebah untuk riset polinasi, dan tikus buat uji coba medis (meskipun ini masih kontroversial).
Ancaman terhadap Dunia Animalia
Sayangnya, meskipun dunia hewan luar biasa, mereka sekarang terancam punah besar-besaran. Habitat hilang, perburuan, polusi, dan perubahan iklim jadi penyebab utamanya.
Saya pernah baca laporan WWF, katanya populasi satwa liar turun lebih dari 60% dalam 50 tahun terakhir. Itu kayak kita ngelihat kebun binatang yang pelan-pelan kosong.
Kita sering lupa kalau mereka bukan cuma “penghuni” planet ini. Mereka adalah bagian dari sistem yang bikin kita bisa hidup juga.
Jadi buat saya, melindungi hewan bukan cuma soal cinta alam. Tapi soal bertahan hidup bersama.
Keanekaragaman di Indonesia: Surga Animalia Tropis
Kalau ngomongin hewan, Indonesia nggak boleh dilewatkan. Kita punya megabiodiversitas. Dari hutan Papua sampai laut Banda, tiap daerah punya ciri khas.
Beberapa spesies endemik yang luar biasa:
-
Komodo, satu-satunya naga sungguhan yang tersisa.
-
Burung Cendrawasih, si penari langit dari Papua.
-
Orangutan Kalimantan dan Sumatera, yang sekarang makin langka.
Waktu saya traveling ke Tangkoko, Sulawesi Utara, saya lihat tarsius langsung di alam liar. Matanya besar kayak bola pingpong, kecil, lincah, dan benar-benar bikin saya sadar betapa beruntungnya kita punya keanekaragaman ini.
Sayangnya, deforestasi dan pertambangan bikin banyak spesies itu kehilangan rumahnya.
Pelajaran Hidup dari Hewan
Ada satu hal yang paling saya hargai setelah menelusuri dunia Animalia: mereka hidup sesuai kodratnya. Nggak berlebihan, nggak rakus, nggak merusak.
Seekor serigala akan berburu hanya saat lapar. Burung akan bersarang tanpa menebang semua pohon. Bahkan predator buas seperti harimau menjaga wilayahnya agar stabil.
Ironis ya, justru manusia yang katanya paling pintar, yang paling suka merusak.
Hewan mengajari saya pengetahuan tentang kesederhanaan, tentang saling ketergantungan, dan tentang menghormati alam. Mungkin itu kenapa saya sekarang suka banget duduk di taman sambil mantengin semut kerja. Mereka kayak versi kecil dari etika kerja dan harmoni alam.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Saya sadar saya bukan aktivis, bukan peneliti, bahkan bukan ahli hewan. Tapi saya percaya, kita semua bisa mulai dari hal kecil:
-
Jangan buang sampah sembarangan.
-
Dukung konservasi lokal dan internasional.
-
Pelihara hewan dengan tanggung jawab.
-
Edukasi orang-orang di sekitar kita.
-
Kurangi konsumsi produk yang merusak habitat hewan.
Kalau saya bisa berubah hanya karena nonton dokumenter, saya yakin kamu juga bisa. Dunia hewan terlalu berharga untuk kita abaikan.
Penutup: Animalia adalah Cermin Diri Kita
Dunia Animalia bukan hanya soal binatang. Tapi soal kita juga.
Soal bagaimana kita melihat makhluk lain sebagai bagian dari sistem yang sama. Soal bagaimana kita belajar dari mereka: dari ketekunan semut, keberanian singa, keindahan kupu-kupu, sampai kesetiaan anjing.
Saya nggak tahu apakah manusia layak disebut “puncak evolusi”. Tapi yang jelas, kita adalah satu dari sekian juta spesies di bumi ini. Dan mungkin, satu-satunya yang punya kekuatan untuk menyelamatkan yang lain.
Yuk, mulai lebih peduli. Karena ketika kita menjaga hewan, sebenarnya kita sedang menjaga diri kita sendiri.
Baca juga artikel berikut: Absensi Digital Siswa: Cara Presensi yang Anti Ribet